logo
Home
/
Blog
/
goplay
/
Rekomendasi 5 Film Indonesia yang Bikin Bangga
Rekomendasi 5 Film Indonesia yang Bikin Bangga
goplay / 24 Feb 2024

Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, dan beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia - Ir. Soekarno. 

Momen Hari Sumpah Pemuda nih. Kata orang, masa muda adalah waktunya untuk berkarya. Bagi kamu yang berjiwa muda, inilah saatnya untuk bangkit dan kobarkan semangatmu! 

Selain menyemangati diri untuk berkarya, jangan lupa juga untuk mendukung karya-karya anak bangsa, salah satunya dengan menonton film-film lokal berkualitas. Siapa tahu kamu juga bisa mendapatkan inspirasi atau bahkan semakin terdorong untuk berkarya dengan menyaksikan karya mereka. 

Banyak lho film karya anak bangsa yang nggak kalah keren sama film-film luar negeri. Bahkan sederet film Indonesia ini sudah menerima penghargaan, baik dalam cakupan nasional maupun internasional. Pokoknya bikin bangga deh! 

Makanya, kita perlu mendukung karya-karya mereka supaya semakin banyak lagi karya yang bisa membuat bangga Indonesia. Berikut lima (5) film Indonesia berkualitas rekomendasi GoPlay buat kamu yang ingin nonton lebih banyak lagi film lokal.

Rekomendasi Film Indonesia Menang Penghargaan

Siti

Film yang menerima penghargaan Film Terbaik pada Festival Film Indonesia (FFI) 2015 ini memiliki plot yang sangat simpel, tapi efektif menyampaikan konflik cerita. Siti menggambarkan dilema seorang perempuan bernama Siti (Sekar Sari) dalam menghadapi kesulitan hidup. Suaminya, Bagus (Ibnu Widodo) lumpuh akibat kecelakaan saat melaut. Sehingga, Siti pun harus berjuang menghidupi suami, ibu mertua, dan anaknya. Belum lagi jeratan hutang yang membuat keadaan semakin pelik. 

Terjepit keadaan, Siti terpaksa bekerja siang dan malam. Siang hari ia menjual peyek jingking, makanan khas Bantul yang biasa ditemui di area pantai. Malam hari ia menjadi pemandu karaoke. Namun, sang suami tidak menyukai pekerjaan malam hari di karaoke sehingga berhenti bicara dengan Siti. Di sisi lain, seorang polisi muda tertarik pada Siti. 

Lewat film ini, sutradara Eddie Cahyono menyampaikan kisah secara jujur dan apa adanya, tapi dengan tetap menjaga nilai artistik. Keputusan Edy menggunakan pendekatan yang sederhana malah membuat isu yang diangkat dalam Siti terasa makin kuat. Perjuangan dan konflik batin yang dialami Siti berhasil tergambarkan dengan baik. Pesan dalam film tersebut pun disampaikan secara tersirat dan tidak dilebih-lebihkan. 

Selain narasi, warna, dan dialog Siti juga menjadi keunikan tersendiri yang memberi karakteristik pada film. Warna hitam putih yang digunakan menambah kesan estetika, sementara dialog yang menggunakan bahasa Jawa membuat Siti terasa lebih dekat dan nyata. Walaupun berbudget rendah, Siti berhasil menyabet berbagai pengakuan selain FFI, seperti Singapore International Film Festival 2014, Asian New Talent Award" Shanghai International Film Festival 2015, 19th Toronto Reel Asian International Film Festival 2015, dan 9th Warsaw Five Flavours Film Festival 2015. 

Turah

Masih seputar tema kemiskinan, Turah menceritakan kehidupan di Kampung Tirang, Tegal. Di Kampung Tirang, tinggal warga-warga yang terpinggirkan dan terisolasi dari dunia luar. Kampung Tirang dikuasai oleh juragan Darso (Yono Daryono) dan tangan kanannya, Pakel (Rudi Iteng). Para warga tunduk kepada Darso, bahkan cenderung merasa bersyukur karena telah memperoleh tempat tinggal dan pekerjaan darinya. Padahal, Darso memperlakukan warga seenaknya dan memanfaatkan mereka untuk meraup keuntungan. 

Di tengah kepasrahan warga, muncul perlawanan Jadag (Slamet Ambari), seorang pemabuk lulusan SD yang melayangkan protes terhadap perlakuan Darso. Kekesalan ini juga ia ceritakan kepada Turah (Ubaidillah). Jagad pun berusaha mempengaruhi Turah untuk ikut melawan. Namun upaya mereka memenuhi banyak tantangan.

Potret kemiskinan dalam Turah digambarkan dengan apa adanya tanpa dibumbui. Rumah yang reot, minimnya listrik dan air bersih, pakaian yang lusuh, detail-detail ini menjadi cerminan sekaligus kritik terhadap ketimpangan yang masih terjadi di Indonesia melalui ‘kaca mata’ warga Kampung Tirang. Tak hanya itu, film yang merupakan debut Wicaksono Wisnu Legowo ini juga menunjukkan perilaku warga yang pasif dan pasrah terhadap penindasan sebagai respons terhadap kemiskinan dan ketidakadilan.

Turah yang dikemas dengan begitu alami, bahkan tanpa diiringi musik latar, membuat cerita terasa sangat nyata bahkan seperti dokumenter. Sebagai penonton, kamu akan diajak untuk merenungkan jebakan kemiskinan. Dengan cerita yang kuat, nggak heran kalau Turah mendapatkan banyak penghargaan, mulai dari ASEAN Film Awards 2017, Piala Maya 2017, Festival Film Tempo 2017, Singapore International Film Festival 2016, dan Jogja Netpac Asian Film Festival 2016. 

27 Steps of May

27 Steps of May mengisahkan May (Raihaanun Soeriaatmadja) yang mengalami trauma mendalam akibat kekerasan seksual yang dialaminya saat remaja. May pun menarik diri, tidak berani keluar kamar, tidak mau berbicara, dan menjalani rutinitas yang ketat sebagai mekanisme bertahan hidup. Suatu hari, May bertemu seorang pesulap (Ario Bayu) lewat lubang dinding kamarnya. Melalui lubang tersebut lah sang pesulap berkomunikasi dengan May lewat berbagai trik sulapnya. 

27 Steps of May menggambarkan proses pulihnya korban kekerasan seksual yang begitu sulit, kompleks, dan menyakitkan. Ravi Bharwani pun merepresentasikan proses ini dengan alur cerita yang relatif lambat dan minim dialog. Membawakan tema yang tidak mudah, 27 Steps of May bakalan membuat kamu turut mengalami trauma yang dialami May secara personal.

Dengan dialog yang sedikit pun film ini tetap bisa membawa kita untuk ikut terlarut dalam emosi yang dialami karakter-karakternya. Raihaanun sebagai May dan Lukman Sardi sebagai ayah May menunjukkan performa yang luar biasa. Lewat gestur dan mimik, keduanya mampu menyampaikan emosi yang dirasakan karakternya. Raihaanun pun meraih Piala Citra 2019 sebagai aktris terbaik. 

Yang juga menarik dari film ini adalah bagaimana kejadian yang menimpa May tidak hanya berdampak padanya tetapi juga pada ayahnya. Ayah May merasa bersalah dan terpukul karena tidak bisa melindungi May. Amarahnya ini ia luapkan di ring tinju. Dari sini, 27 Steps of May menunjukkan bagaimana trauma bisa begitu mengisolasi seseorang.

Sebuah film penting, 27 Steps of May mengajak kamu untuk lebih memahami dan berempati kepada korban kekerasan seksual. Kekuatan kisahnya pun telah diakui oleh berbagai film festival, termasuk Bengaluru International Film Festival dan Busan International Film Festival 2019.

Cek Toko Sebelah

Setelah sukses menceritakan bully dan diskriminasi yang dialaminya sebagai kaum minoritas, Ernest kembali menceritakan kehidupan khas keluarga keturunan Tionghoa melalui kisah Koh Afuk (Chew Kin Wah) dan dua putranya Yohan (Dion Wiyoko) dan Erwin (Ernest Prakasa). 

Koh Afuk merupakan seorang pemilik toko kelontong yang ingin mewariskan tokonya ke putra keduanya, Erwin. Sebagai anak pertama, Yohan tidak terima dengan keputusan ayahnya. Sementara itu, Erwin sebenarnya juga tidak menginginkan toko kelontong ayahnya karena sudah memiliki kari. Di sinilah timbul konflik antara Koh Afuk dan kedua putranya. 

Lagi-lagi Ernest berhasil memberikan gambaran atas fenomena yang sering terjadi di keluarga Tionghoa. Makanya tak heran kalau banyak yang menyebut film Cek Toko Sebelah sebagai film yang sangat relevan dengan kehidupan nyata. Selain itu, Ernest juga bisa menyeimbangkan antara momen komedi dan drama sehingga keduanya terasa menyatu. Ditambah dengan iringan lagu-lagu The Overtunes, kita pun dibuat terlarut dalam film mulai dari ketawa, terharu, sedih, sampai dibuat tertawa lagi.

Selain mendapat respons yang bagus dari penonton, Cek Toko Sebelah juga berhasil menyabet sembilan nominasi dalam Festival Film Indonesia 2017 termasuk memenangkan penghargaan Skenario Asli Terbaik. 

Help is on the Way

Selain film fiksi, Indonesia juga memiliki film-film dokumenter yang berkualitas, salah satunya Help is on the Way. Film ini bercerita tentang Sukma, Meri, Tari, dan Puji yang berniat untuk bekerja di luar negeri sebagai pekerja migran. Film dokumenter menggambarkan secara rinci proses yang dilalui untuk menjadi pekerja migran, mulai dari persiapan, pelatihan bahasa, pelatihan cara merawat lansia, dan banyak lagi. 

Film dokumenter yang mengambil setting di Indramayu, Indonesia, dan Taiwan ini juga menggambarkan angan-angan para pekerja migran tentang kehidupan di luar negeri serta potret kehidupan nyata yang mereka jalani saat sudah bekerja. Film ini menunjukkan berbagai tantangan yang dihadapi mereka, seperti perbedaan budaya, bahasa, dan pola pikir. Selain para pekerja migran, film ini juga mengisahkan kehidupan para agen dan pelatih yang membantu mereka.

Lewat dokumenter ini, Ismail Fahmi Lubis mengangkat berbagai isu sosial seperti masalah imigrasi, ketimpangan sosial, hak buruh, hingga kesetaraan gender. Help is on the Way menjadi potret nyata perjuangan para pekerja migran demi mencapai kehidupan yang lebih baik. Dokumenter ini dinobatkan sebagai film dokumenter panjang terbaik pada Piala Citra tahun lalu.

Lewat beragam kisah, kamu bisa memperkaya tontonan film lokalmu sekaligus mengenal lebih dekat berbagai isu dan fenomena yang terjadi di masyarakat. Apalagi film-film di atas nggak semuanya tayang di bioskop lho. Makanya, yuk ditonton di GoPlay dan terus dukung film Indonesia ya!